Saya baru saja membaca kumpulan
metaphora karangan RH. Wiwoho, perintis NLP di Indonesia. Ada satu
tulisannya, berjudul The Magic of Language yang menarik untuk saya sharingkan disini, karena ada pengalaman yang
bisa saya jadikan contoh.
Begini, saat saya mendengarkan cerita seorang teman yang berisi tumpahan
uneg-uneg, kekesalan, kejengkelan atau bahkan kemarahannya, ada kalimat-kalimat
seperti ini:
· “Saya ingin fokus mengurus anak dan
rumah tangga tapi saya sudah terbiasa bekerja di kantor dan mendapatkan
penghasilan secara tetap…”
· “Sebenarnya saya ingin menjaga keutuhan
pernikahan ini, tapi suami saya sangat menyebalkan dan hampir tidak mau peduli
lagi”
· “Saya ingin tim ini berjaya seperti
dulu, tapi sekarang anggota tim-nya sudah semakin sedikit dan saya harus
berjuang sendirian”
· “Keluar dari masalah ini adalah
keinginan saya yang terdalam, tapi semakin saya berupaya mengatasi masalah,
masalah yang baru bermunculan”
· “Saya ingin tegar dan kuat seperti dia,
tapi kok sepertinya saya belum memiliki bakat dan karakter yang dia miliki
ya..”
(kalimat diatas tidak sama persis dengan aslinya, untuk menjaga privasi si
penyampai kalimat)
Apa ya yang bisa saya lakukan bila menghadapi kalimat diatas?
Dalam setiap sesi konseling, terapi bahkan hanya sekedar curhat atau obrolan ringan sekalipun,
kalimat-kalimat yang diucapkan lawan bicara kita itu memiliki kekuatan
tersendiri. Tidak jarang kalimat yang diucapkan nya adalah jawaban atas
pertanyaannya sendiri. Dan ajaibnya kalimat yang dilontarkan sebenarnya adalah kalimat
penguat bagi dirinya sendiri, hanya saja perlu revisi dan peng-edit-an ulang atas kalimat tersebut.
Kok bisa ya? Ya, karena kata-kata bukan hanya suatu perwakilan atau
penggambaran dari dunia pengalaman, tetapi juga ”membingkai” (framing)
pengalaman seseorang. Dalam tulisannya, Wiwoho menjelaskan bahwa
”membingkai” (framing) artinya membawa aspek-aspek tertentu sebagai latar depan (foreground) dan meninggalkan aspek
lainnya sebagai latar belakang (background).
Salah satu kata yang memiliki keajaiban dan powerful, adalah kata ”meskipun”. Kata sambung ”meskipun” yang digunakan untuk merangkai
2 kalimat, akan membuat kita berfokus kepada kalimat pertama (sebagai latar
depan) dan membuat kalimat kedua atau kalimat berikutnya sebagai latar
belakang.
Yuk kita ambil contoh sederhana.
Kalimat pertama : Saya ingin ke toko buku
Kalimat kedua : Saya belum tahu hendak membeli buku apa
Bila disambungkan dengan kata ”meskipun” menjadi: ”Saya ingin ke toko buku meskipun saya belum tahu hendak membeli buku
apa”
Apa yang kita rasakan atau maknakan dari kalimat diatas? Tentu kita
berfokus pada kata ”saya ingin ke toko buku” bukan? Sehingga bila dipraktikkan,
ada kekuatan atau dorongan yang membuat saya akan pergi ke toko buku, meskipun
ketika sampai di toko buku itu saya
bingung membeli buku apa, atau bahkan tidak membeli buku sama sekali.
Beda halnya jika kalimat pertama dan kedua tadi disambungkan dengan kata
”tapi/tetapi” menjadi: ”Saya ingin ke toko buku tetapi saya belum tahu hendak membeli buku apa”.
Bisa kita rasakan kan perbedaannya? Ketika disambungkan
dengan kata ”tapi/tetapi”, kita jadi fokus pada kalimat kedua. Dan bila
dipraktikkan, cenderung mengarahkan saya untuk tidak jadi ke toko buku, karena
saya belum tahu hendak membeli buku apa.
Ahaaa….! saya jadi menjadi insight nih. Apa yang bisa saya lakukan bila
menghadapi teman yang menceritakan masalahnya. Hanya bermodalkan kata ”meskipun”!
Ya, hanya dengan mengubah kata ”tapi/tetapi” dengan ”meskipun”, sebenarnya
saya bisa membantu teman saya mengatasi permasalahannya. Setidaknya, ini
akan memberi kekuatan bagi dirinya sendiri untuk memandang masalah dari
perspektif yang lain. Perspektif yang lebih baik dan lebih positif, yang akan
menggerakkan kekuatan subconsciousnya dan memberikan dorongan untuk
berfokus pada nilai dan niatan positifnya.
Mari kita lihat, apa yang bisa kita lakukan dengan 5 kalimat contoh di awal
tulisan ini, dengan mengganti kata sambung ”tapi/tetapi” dengan ”meskipun”.
· “Saya ingin fokus mengurus anak dan
rumah tangga meskipun saya sudah terbiasa bekerja dan
mendapatkan penghasilan secara tetap…”
(fokus pada : saya ingin
fokus mengurus anak dan rumah tangga)
· “Sebenarnya saya ingin menjaga keutuhan
pernikahan ini, meskipun suami saya sangat menyebalkan dan
hampir tidak mau peduli lagi”
(fokus pada : saya ingin menjaga keutuhan
pernikahan)
· “Saya ingin tim ini berjaya seperti
dulu, meskipun sekarang anggota tim-nya sudah semakin
sedikit dan saya harus berjuang sendirian”
(fokus pada : saya ingin tim
berjaya seperti dulu)
· “Keluar dari masalah ini adalah
keinginan saya yang terdalam, meskipun semakin saya berupaya mengatasi
masalah, masalah yang baru bermunculan”
(fokus pada : keinginan saya
keluar dari masalah)
· “Saya ingin tegar dan kuat seperti dia,
meskipun sepertinya saya belum memiliki
kebiasaan dan karakter yang dia miliki ya..”
(fokus pada : saya ingin
tegar dan kuat)
Bagaimana, sudah bisa kita lihat kan keajaiban kata ”meskipun”? Dengan
mengubah kata ”tapi” menjadi ”meskipun” kita sudah bisa membantu orang lain
memandang suatu masalah dari sudut yang berbeda. Sederhana, namun ajaib yach?
Membantu orang lain saja bisa, apalagi membantu diri sendiri, bukan?
Jadi, bila saat ini Anda sedang meng-iman-i kalimat :
”Saya ingin membeli beras untuk persediaan 2 bulan kedepan, tetapi dollar
kan meroket terus nih, harga-harga pasti bakalan mahal!”
Coba ganti kata ”tetapi” dengan kata ”meskipun”. Lagipula kita beli beras nggak pakai dollar kok
(Dalam NLP, penggantian kata ”tapi/tetapi” menjadi ”meskipun” termasuk
contoh teknik Reframing)
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar